Judul : Neoliberalisme dan Restorasi Kelas
Kapitalis
Penulis : David Harvey
Penerbit : Resist
Pendekatan : Ekonomi – Politik Globalisasi
Banyak telaah
tentang teori-teori kapitalisme kontemporer melihat Neoliberalisme pada
prinsipnya sebagai wujud dari perkembangan baru dari praktik imperialisme. Fase
ini dimulai ketika terjadi kegagalan atas penerapan ekonomi neo klasik yang
masih menerapkan intervensi “regulasi pemerintah”. Dengan memberikan titik
tekan pada ”regulasi pemerintah” untuk menghidari kekeliruan asumsi bahwa
dengan praktik neoliberalisme maka peran negara dihabisi. Negara sekiranya pada
posisi tertentu sebenarnya justru tetap eksis dan mengambil langkah yang lebih
meningkat dalam sistem neolibalisme. Teori menghilangnya negara dalam sistem
neolibalisme sebenarnya justru banyak hal dipakai oleh kaum imperialisme untuk
mendorong keyakinan ideologis bahwa negara memang sangat penting bagi
perlindungan rakyat sehingga pasar tidak harus dilepas secara bebas. Bagi
penggagas neoliberalisme harus dikeluarkan dari jerat regulasi apapun yang
menghambat dinamika pasar. Melalui tokohnya, August von Hayek dan Milton
Friedman, mereka menentang apa yang digagas oleh ekonom klasik seperti John M.
Keynes yang mengatakan bahwa pemerintah mempunyai tugas untuk mengontrol
seluruh aktifitas kehidupan ekonomi. Bagi Friedman, kebijakan semacam ini justu
akan membangkrutkan masyarat, alur argumentasi secara umum terhadap problem
Neoliberalisme tertangkap demikian.
Buku Neoliberalisme dan
Restorasi Kelas Kapitalisme karya David Harvey merupakan sekian khasanah buku
yang cukup kritis untuk membaca pola transformasi dan berbagai selubung
tersembunyi dari motif kapiralisme muktahir. Tahun 1970-an dianggap sebagai
lompatan konfigurasi ekonomi politik sangat penting. Neoliberalisme dianggap
sebuah resep ampuh untuk membangun sistem ekonomi politik baru yang bisa keluar
dari situasi krisis. Karya David Harvey ini berusaha mengisi kekosongon telaah
kajian tentang Neoliberalisme yang cenderung masih bersifat umum. David Harvey
meyakini bahwa sangat penting untuk membaca keseluruhan situasi dan polemik dan
dalam istilah harvey disebut sebagai “drama ekonomi politik” yang
melatarbekangi mengapa gagasan dan ide Neoliberalisme cukup berkembang pesat.
Buku ini secara eksplisit mengingatkan bahwa tidak mudah memetakan karakter
secara umum dari negara dalam era neoliberalisme. Menurut Harvey, ada dua
alasan penting: yang pertama, karena banyak praktik negara menyimpang dari
derskripsi teorinya. Dan kedua, adanya dinamika neoliberalisme yang sedemikian
rupa sehingga memaksa berbagai bentuk adaptasi yang sangat bervariasi dari
negara satu dengan negara yang lain.
Harvey
menyebutnya sebagai bersifat transisional atau tidak stabil. Diantara ketegangan-ketegangan
itu kemudian terlihat disparitas yang kemudian semakin nampak bahwa
neoliberalisme menghadirkan banyak paradoks dan kontradiksi. Negara dalam image
propaganda neoliberal sebagai “penonton” justru kian hari semakin memainkan
peranan penting dalam memainkan regulasi yang kadang justru sangat
intervensionis. Neoliberalisme justru menampakkan wajah otoritarianismenya
ketimbang janji kebebasan yang dibilang. Kekuasaan korporasi justru banyak hal
merampas kebebasan individu yang dijanjikan dalam retorika kaum neoliberal.
Lalu, integritas ekonomi yang dijanjikan sebagai cara untuk pengaturan pasar
justru sering membuka peluang spekulasi-spekulasi tidak bertanggungjawab,
skandal keuangan dan instabilitas sistem ekonomi yang kronis. Selanjutnya, iklim
kompetisi yang menjadi prasyarat pasar bebas justru makin menyuburkan
konsolidasi kekuatan oligpolistik, monopoli dan kekuasaan korporasi yang
sentralistik. Berikutnya, kredo untuk kebebasan justru menyebabkan banyak
destruksi solidaritas sosial.
Kita bisa meneti
jauh untuk membongkar ruang kosong yang disebut Harvey sebagai “disparitas yang
ideal dan yang real” dengan membongkar dan mematahkan keseluruhan konsepsi
neoliberal dengan kenyataan fakta-fakta yang berjalan. Penting memetanarasikan
segala konsep dan pengertian yang terkandung dalam diskursus neoliberalisme. Yang
cukup dilihat dari seluruh perkembangan itu adalah bahwa seluruh konsepsi dan
perspektif yang kemudian berkembang dan diterima sebagai keuakinan umum yakni
buah campur tangan dari kekuatan “aparatus konseptual”. Daya pikat ide sangat
dipengaruhi bagaimana “aparatus konseptual” ini bekerja dengan sangat
efektifnya. Yang dibawa seakan sudah menjadi realitas yang harus diterima.
Dengan cukup memaparkan bagaimana sebuah gagasan seperti mantra “kebebasan” dan
“martabat manusia” dijadikan nilai ideal universal. Dan dengan mantra kebebasan
ini pula yang melahirkan berbagai gerakan-gerakan politik seperti di Eropa
Timur, Soviet atau juga reformasi politik Cina. Atas nama kebebasan ini pula
yang menjadi ikon propaganda Amerika untuk mengalahkan beberapa rival
kepentingan politik.
Kekuasaan Irak
dibawah Sadam Husein tumbang atas nama “kebebasan”. Dibalik nama kebebasan pula
pasca tumbangnya rezim Sadam, Paul Bremer, Kepala Sementara Koalisi di Irak.
Mereka mengesahkan berbagai keputusan perubahan disekitar pengaturan politik
dan ekonomi. Irak pasca Sadam Husein menjadi Irak yang sudah sangat liberal.
Sistem ekonomi politik didorong mengikuti pola dan sistem neoliberal.
Intervensi penguasaan asing menjadi sangat terbuka. Kebijakan yang berubah
drastis itu meliputi privatisasi menyeluruh atas perusahaan-perusahaan publik,
hak-hak kepemilikan secara penuh atas bisnis-bisnis Irak oleh
perusahaan-perusahaan asing, repratiasi secara total atas laba asing dan
pembukaan seluas-luasnya terhadap masuknya modal asing. Parahnya, kebijakan itu
berlaku untuk segala bidang baik pelayanan publik, media, manufaktur, jasa,
transportasi, keuangan dan konstruksi.
Relasi keseluruhan kebijakan
liberalisasi pasar di Irak dengan mantra kebebasan yaitu propaganda dominan
barat menilai bahwa kebebasan individu sebagai ciri dasar dari martabat mansuia
dengan sendirinya akan terwujud dengan penghilangan batas aturan politik
ekonomi. Tentu premis ini bila dibaca lebih sekedar menjadi jargon ketimbang
realitas yang dihadapi Irak sekarang. Kebebasan di Irak menjadi wajah Tirani
baru. Yang hadir bukannya kebebasan yang dibayangkan. Liberalisasi pasar justru
memahat peradan baru bagi Irak yakni politik represi dan dominasi. Di balik slogan
kebebasan, tersembunyi kepentingan penaklukan atas negeri lain. Ini buah dari
transformasi Neoliberalisme. Nasib serupa pernah juga dialami oleh berbagai
negara seperti Chili, Argentina, Brasil, Mexico dan negara-negara Asia Tenggara
yang begitu gampangnya mengadopsi kebijakan ini.
Yang terjadi
setelah neoliberalisme menjadi mazhab dominan dalam pola ekonomi politik dunia,
maka terbentuk aktor-aktor baru yang merupakan badan berpengaruh pada
perjalanan neoliberalisme. Beberapa aktor penting yang bisa disebutkan disini
adalah: pertama, World Trade Organization (WTO) yang didirikan pada tahun 1994
dan merupakan kelanjutan dari GATT (General Agreement Tariffs and Trade), organisasi
perdagangan ini beranggotakan 144 negara termasuk Indonesia. Di sini diatur
berbagai aturan peraturan perdagangan baik barang, jasa maupun HAKI terkait
perdagangan. Tentu saja proses keputusan dalam WTO selalu dimenangkan oleh
kepentingan negara-negara maju sehingga produk dari keputusan WTO akhirnya
bukannya memperbaiki ekonomi dunia berkembang melainkan terjebak mereka kedalam
hisapan imperialisme barat. Aktor kedua adalah lembaga bantuan keuangan asing
seperti IMF ataupun ADB maupun Bank Dunia yang nyata-nya mereka juga memberi
pintu terbuka pada keterpurukan Indonesia melalui politik jebakan hutang luar
negerinya. Dalam memberikan terapi pada negara-negara berkembang biasanya
selalu disertakan syarat-syarat ketat dan perubahan fundamental seperti yang
ada pada praktek politik deregulasi dan privatisasi. Apa yang selama ini
disebutkan sebagai kebijakan Penyelesaian Struktural (Structural Adjusment
Program, SAP) hanyalah berarti bahwa seluruh kebijakan yang ada dalam
syarat-syarat hutang luar negeri harus diorientasikan pada pemberian pintu
seluas-luasnya kepentingan modal asing untuk menguasai Indonesia. Ketiga,
adalah Lembaga-lembaga Internasional seperti PBB dan seluruh lembaga pemberi
donor dalam pembangunan Indonesia. Politik Hak Veto bisa merupakan bukti
bagaimana lembaga dunia tersebut jatuh dalam kaki kekuasaan negara maju. Perang
Imperialisme negara maju seperti yang terjadi di Irak, Afganistan maupun
intervensi pada negara-negara penentang lainnya seperti Korea Utara dan
beberapa di negara Amerika Latin merupakan fakta bahwa PBB hanyalah lembaga
bentukan dalam kepentingan Imperialisme Barat.
–
END –
Tidak ada komentar:
Posting Komentar