Senin, 27 Juni 2016

Review Buku Neoliberalisme dan Restorasi Kelas Kapitalis



Judul                           :           Neoliberalisme dan Restorasi Kelas Kapitalis
Penulis                        :           David Harvey
Penerbit                      :           Resist
Pendekatan                 :           Ekonomi – Politik Globalisasi

buku-neoliberalisme.jpg (404×624)



            Banyak telaah tentang teori-teori kapitalisme kontemporer melihat Neoliberalisme pada prinsipnya sebagai wujud dari perkembangan baru dari praktik imperialisme. Fase ini dimulai ketika terjadi kegagalan atas penerapan ekonomi neo klasik yang masih menerapkan intervensi “regulasi pemerintah”. Dengan memberikan titik tekan pada ”regulasi pemerintah” untuk menghidari kekeliruan asumsi bahwa dengan praktik neoliberalisme maka peran negara dihabisi. Negara sekiranya pada posisi tertentu sebenarnya justru tetap eksis dan mengambil langkah yang lebih meningkat dalam sistem neolibalisme. Teori menghilangnya negara dalam sistem neolibalisme sebenarnya justru banyak hal dipakai oleh kaum imperialisme untuk mendorong keyakinan ideologis bahwa negara memang sangat penting bagi perlindungan rakyat sehingga pasar tidak harus dilepas secara bebas. Bagi penggagas neoliberalisme harus dikeluarkan dari jerat regulasi apapun yang menghambat dinamika pasar. Melalui tokohnya, August von Hayek dan Milton Friedman, mereka menentang apa yang digagas oleh ekonom klasik seperti John M. Keynes yang mengatakan bahwa pemerintah mempunyai tugas untuk mengontrol seluruh aktifitas kehidupan ekonomi. Bagi Friedman, kebijakan semacam ini justu akan membangkrutkan masyarat, alur argumentasi secara umum terhadap problem Neoliberalisme tertangkap demikian.

            Buku Neoliberalisme dan Restorasi Kelas Kapitalisme karya David Harvey merupakan sekian khasanah buku yang cukup kritis untuk membaca pola transformasi dan berbagai selubung tersembunyi dari motif kapiralisme muktahir. Tahun 1970-an dianggap sebagai lompatan konfigurasi ekonomi politik sangat penting. Neoliberalisme dianggap sebuah resep ampuh untuk membangun sistem ekonomi politik baru yang bisa keluar dari situasi krisis. Karya David Harvey ini berusaha mengisi kekosongon telaah kajian tentang Neoliberalisme yang cenderung masih bersifat umum. David Harvey meyakini bahwa sangat penting untuk membaca keseluruhan situasi dan polemik dan dalam istilah harvey disebut sebagai “drama ekonomi politik” yang melatarbekangi mengapa gagasan dan ide Neoliberalisme cukup berkembang pesat. Buku ini secara eksplisit mengingatkan bahwa tidak mudah memetakan karakter secara umum dari negara dalam era neoliberalisme. Menurut Harvey, ada dua alasan penting: yang pertama, karena banyak praktik negara menyimpang dari derskripsi teorinya. Dan kedua, adanya dinamika neoliberalisme yang sedemikian rupa sehingga memaksa berbagai bentuk adaptasi yang sangat bervariasi dari negara satu dengan negara yang lain.


            Harvey menyebutnya sebagai bersifat transisional atau tidak stabil. Diantara ketegangan-ketegangan itu kemudian terlihat disparitas yang kemudian semakin nampak bahwa neoliberalisme menghadirkan banyak paradoks dan kontradiksi. Negara dalam image propaganda neoliberal sebagai “penonton” justru kian hari semakin memainkan peranan penting dalam memainkan regulasi yang kadang justru sangat intervensionis. Neoliberalisme justru menampakkan wajah otoritarianismenya ketimbang janji kebebasan yang dibilang. Kekuasaan korporasi justru banyak hal merampas kebebasan individu yang dijanjikan dalam retorika kaum neoliberal. Lalu, integritas ekonomi yang dijanjikan sebagai cara untuk pengaturan pasar justru sering membuka peluang spekulasi-spekulasi tidak bertanggungjawab, skandal keuangan dan instabilitas sistem ekonomi yang kronis. Selanjutnya, iklim kompetisi yang menjadi prasyarat pasar bebas justru makin menyuburkan konsolidasi kekuatan oligpolistik, monopoli dan kekuasaan korporasi yang sentralistik. Berikutnya, kredo untuk kebebasan justru menyebabkan banyak destruksi solidaritas sosial.

            Kita bisa meneti jauh untuk membongkar ruang kosong yang disebut Harvey sebagai “disparitas yang ideal dan yang real” dengan membongkar dan mematahkan keseluruhan konsepsi neoliberal dengan kenyataan fakta-fakta yang berjalan. Penting memetanarasikan segala konsep dan pengertian yang terkandung dalam diskursus neoliberalisme. Yang cukup dilihat dari seluruh perkembangan itu adalah bahwa seluruh konsepsi dan perspektif yang kemudian berkembang dan diterima sebagai keuakinan umum yakni buah campur tangan dari kekuatan “aparatus konseptual”. Daya pikat ide sangat dipengaruhi bagaimana “aparatus konseptual” ini bekerja dengan sangat efektifnya. Yang dibawa seakan sudah menjadi realitas yang harus diterima. Dengan cukup memaparkan bagaimana sebuah gagasan seperti mantra “kebebasan” dan “martabat manusia” dijadikan nilai ideal universal. Dan dengan mantra kebebasan ini pula yang melahirkan berbagai gerakan-gerakan politik seperti di Eropa Timur, Soviet atau juga reformasi politik Cina. Atas nama kebebasan ini pula yang menjadi ikon propaganda Amerika untuk mengalahkan beberapa rival kepentingan politik.


            Kekuasaan Irak dibawah Sadam Husein tumbang atas nama “kebebasan”. Dibalik nama kebebasan pula pasca tumbangnya rezim Sadam, Paul Bremer, Kepala Sementara Koalisi di Irak. Mereka mengesahkan berbagai keputusan perubahan disekitar pengaturan politik dan ekonomi. Irak pasca Sadam Husein menjadi Irak yang sudah sangat liberal. Sistem ekonomi politik didorong mengikuti pola dan sistem neoliberal. Intervensi penguasaan asing menjadi sangat terbuka. Kebijakan yang berubah drastis itu meliputi privatisasi menyeluruh atas perusahaan-perusahaan publik, hak-hak kepemilikan secara penuh atas bisnis-bisnis Irak oleh perusahaan-perusahaan asing, repratiasi secara total atas laba asing dan pembukaan seluas-luasnya terhadap masuknya modal asing. Parahnya, kebijakan itu berlaku untuk segala bidang baik pelayanan publik, media, manufaktur, jasa, transportasi, keuangan dan konstruksi.

            Relasi keseluruhan kebijakan liberalisasi pasar di Irak dengan mantra kebebasan yaitu propaganda dominan barat menilai bahwa kebebasan individu sebagai ciri dasar dari martabat mansuia dengan sendirinya akan terwujud dengan penghilangan batas aturan politik ekonomi. Tentu premis ini bila dibaca lebih sekedar menjadi jargon ketimbang realitas yang dihadapi Irak sekarang. Kebebasan di Irak menjadi wajah Tirani baru. Yang hadir bukannya kebebasan yang dibayangkan. Liberalisasi pasar justru memahat peradan baru bagi Irak yakni politik represi dan dominasi. Di balik slogan kebebasan, tersembunyi kepentingan penaklukan atas negeri lain. Ini buah dari transformasi Neoliberalisme. Nasib serupa pernah juga dialami oleh berbagai negara seperti Chili, Argentina, Brasil, Mexico dan negara-negara Asia Tenggara yang begitu gampangnya mengadopsi kebijakan ini.

            Yang terjadi setelah neoliberalisme menjadi mazhab dominan dalam pola ekonomi politik dunia, maka terbentuk aktor-aktor baru yang merupakan badan berpengaruh pada perjalanan neoliberalisme. Beberapa aktor penting yang bisa disebutkan disini adalah: pertama, World Trade Organization (WTO) yang didirikan pada tahun 1994 dan merupakan kelanjutan dari GATT (General Agreement Tariffs and Trade), organisasi perdagangan ini beranggotakan 144 negara termasuk Indonesia. Di sini diatur berbagai aturan peraturan perdagangan baik barang, jasa maupun HAKI terkait perdagangan. Tentu saja proses keputusan dalam WTO selalu dimenangkan oleh kepentingan negara-negara maju sehingga produk dari keputusan WTO akhirnya bukannya memperbaiki ekonomi dunia berkembang melainkan terjebak mereka kedalam hisapan imperialisme barat. Aktor kedua adalah lembaga bantuan keuangan asing seperti IMF ataupun ADB maupun Bank Dunia yang nyata-nya mereka juga memberi pintu terbuka pada keterpurukan Indonesia melalui politik jebakan hutang luar negerinya. Dalam memberikan terapi pada negara-negara berkembang biasanya selalu disertakan syarat-syarat ketat dan perubahan fundamental seperti yang ada pada praktek politik deregulasi dan privatisasi. Apa yang selama ini disebutkan sebagai kebijakan Penyelesaian Struktural (Structural Adjusment Program, SAP) hanyalah berarti bahwa seluruh kebijakan yang ada dalam syarat-syarat hutang luar negeri harus diorientasikan pada pemberian pintu seluas-luasnya kepentingan modal asing untuk menguasai Indonesia. Ketiga, adalah Lembaga-lembaga Internasional seperti PBB dan seluruh lembaga pemberi donor dalam pembangunan Indonesia. Politik Hak Veto bisa merupakan bukti bagaimana lembaga dunia tersebut jatuh dalam kaki kekuasaan negara maju. Perang Imperialisme negara maju seperti yang terjadi di Irak, Afganistan maupun intervensi pada negara-negara penentang lainnya seperti Korea Utara dan beberapa di negara Amerika Latin merupakan fakta bahwa PBB hanyalah lembaga bentukan dalam kepentingan Imperialisme Barat.

        END      

Tidak ada komentar:

Posting Komentar