Sabtu, 17 Oktober 2015

Manusia Berbangsa Indonesia

asal usul Bangsa Indonesia

Siapakah sesungguhnya Bangsa Indonesia? Ada banyak cara/versi untuk menerangkan jawaban atas pertanyaan tadi. Dari semua versi, keseluruhannnya berpendapat sama jika lelulur masyarakat Indonesia yang sekarang ini mendiami Nusantara adalah bangsa pendatang. Penelitian arkeologi dan ilmu genetika memberikan bukti kuat jika leluhur Bangsa Indonesia bermigrasi dari wilayah Asia ke wilayah Asia bagian Selatan. Masyarakat Indonesia mungkin banyak yang tidak menyadari apabila perbedaan warna kulit, suku, ataupun bahasa tidak menutupi fakta suatu bangsa yang memiliki rumpun sama, yaitu rumpun Austronesia. Jika melihat catatan penelitian dan kajian ilmiah tentang asal-usul suatu bangsa, apakah masyarakat Indonesia menyadari jika mereka berasal (keturunan) dari leluhur yang sama (satu rumpun)?

Topik dalam tulisan ini sebelumnya sudah sering dibahas di media cetak maupun elektronik, termasuk juga dituliskan oleh beberapa blogger. Sayang sekali di setiap penulisan tidak memberikan penegasan apapun kecuali hanya sekedar informasi umum. Pada prinsipnya, dengan menelusuri asal-usul suatu bangsa, setidaknya akan diketahui gambaran atas pemikiran, paham, ataupun anggapan tentang sikap suatu bangsa.

Menelusuri asal-usul suatu bangsa tidak sekedar membutuhkan bidang ilmu antropologi, akan tetapi sudah masuk ke dalam ranah ilmu genetika. Pada awalnya, penelurusuran hanya didasarkan pada bukti-bukti arkeologi dan pola penuturan bahasa. Temuan terbaru cukup mengejutkan karena merubah keseluruhan fakta di masa lalu jika selama ini leluhur Bangsa Indonesia bukan berasal dari Yunan.

Teori Awal Tentang Yunan
Teori awal tengan asal-usul Bangsa Indonesia dikemukakan oleh sejarawan kuno sekaligus arkeolog dari Austria, yaitu Robern Barron von Heine Geldern atau lebih dikenal von Heine Geldern (1885-1968). Berdasarkan kajian mendalam atas kebudayaan megalitik di Asia Tenggara dan beberapa wilayah di bagian Pasifik disimpulkan bahwa pada masa lampau telah terjadi perpindahan (migrasi) secara bergelombang dari Asia sebelah Utara menuju Asia bagian Selatan. Mereka ini kemudian mendiami wilayah berupa pulau-pulau yang terbentang dari Madagaskar (Afrika) sampai dengan Pulau Paskah (Chili), Taiwan, dan Selandia Baru yang selanjutnya wilayah tersebut dinamakan wilayah berkebudayaan Austronesia. Teori mengenai kebudayaan Austronesia dan neolitikum inilah yang sangat populer di kalangan antropolog untuk menjelaskan misteri migrasi bangsa-bangsa di masa neolitikum (2000 SM hingga 200 SM).

Teori von Heine Geldern tentang kebudayaan Austronesia mengilhami pemikiran tentang rumpun kebudayaan Yunan (Cina) yang masuk ke Asia bagian Selatan hingga Australia. Salah satunya pula yang melandasi pemikiran apabila leluhur Bangsa Indonesia berasal dari Yunan. Teori ini masih sangat lemah (kurang akurat) karena hanya didasarkan pada bukti-bukti kesamaan secara fisik seperti temuan benda-benda arkeologi ataupun kebudayaan megalitikum. Teori ini juga sangat mudah diperdebatkan setelah ditemukannya catatan-catatan sejarah di Borneo (Kalimantan), Sulawesi bagian Utara, dan Sumatera yang saling bertentangan dengan teori Out of Yunan. Sayangnya, masih banyak pendidikan dasar di Indonesia yang masih mempertahankan prinsip ‘Out of Yunan’.

Teori Linguistik
Teori mengenai asal-usul Bangsa Indonesia kemudian berpijak pada studi ilmu linguistik. Dari keseluruhan bahasa yang dipergunakan suku-suku di Nusantara memiliki rumpun yang sama, yaitu rumun Austronesia. Akar dari keseluruhan cabang bahasa yang digunakan leluhur yang menetap di wilayah Nusantara berasal dari rumpun Austronesia di Formosa atau dikenal dengan rumpun Taiwan. Teori linguistik membuka pemikiran baru tentang sejarah asal-usul Bangsa Indonsia yang disebut pendekatan ‘Out of Taiwan’. Teori ini dikemukakan oleh Harry Truman Simandjuntak yang selanjutnya mendasar teori moderen mengenai asal usul Bangsa Indonesia.

Pada prinsipnya, menurut pendekatan ilmu linguistik, asal-usul suatu bangsa dapat ditelusuri melalui pola penyebaran bahasanya. Pendekatan ilmu linguistik mendukung fakta penyebaran bangsa-bangsa rumpun Austronesia. Istilah Austronesia sendiri sesungguhnya mengacu pada pengertian bahasa penutur. Bukti arkeologi menjelaskan apabila keberadaan bangsa Austronesia di Kepulauan Formosa (Taiwan) sudah ada sejak 6000 tahun yang lalu. Dari kepulauan Formosa ini kemudian bangsa Austronesia menyebar ke Filipina, Indonesia, Madagaskar (Afrika), hingga ke wilayah Pasifik. Sekalipun demikian, pendekatan ilmu linguistik masih belum mampu menjawab misteri perpindahan dari Cina menuju Kepulauan Formosa.

Pendekatan Teori Genetika
Teori dengan pendekatan ‘Out of Taiwan’ nampaknya semakin kuat setelah disertai bukti-bukti berupa kecocokan genetika. Riset genetika yang dilakukan pada ribuan kromosom tidak menemukan kecocokan pola genetika dengan wilayah di Cina. Temuan ini tentunya cukup mengejutkan karena dianggap memutuskan dugaan gelombang migrasi yang berasal dari Cina, termasuk di antaranya pendekatan ‘Out of Yunan’. Sebaliknya, kecocokan pola genetika justru semakin memperkuat pendekatan ‘Out of Taiwan’ yang sebelumnya juga dijadikan dasar pemikiran arkeologi dengan pendekatan ilmu linguistik.

Dengan menggunakan pendekatan ilmu linguistik dan riset genetika, maka asal-usul Bangsa Indonesia bisa dipastikan bukan berasal dari Yunan, akan tetapi berasal dari bangsa Austronesia yang mendiami Kepulauan Formosa (Taiwan). Direktur Institut Biologi Molekuler, Prof. Dr Sangkot Marzuki menyarankan untuk dilakukan perombakan pandangan yang tentang asal-usul Bangsa Indonesia. Dari pendekatan genetika menghasilkan beragam pandangan tentang pola penyebaran bangsa Austronesia. Hingga saat ini masih dilakukan berbagai kajian mendalam untuk memperkuat pendugaan melalui pendekatan linguistik tentang pendekatan ‘Out of Taiwan’.

Jalur Migrasi
Jalur migrasi berdasarkan pendekatan ‘Out of Taiwan’ bertentangan dengan pendekatan ‘Out of Yunan’. Pendekatan ‘Out of Yunan’ menerangkan migrasi Austronesia bermula dari Utara menuju semenanjung Melayu yang selanjutnya menyebar ke wilayah Timur Indonesia. Pendekatan ‘Out of Yunan’ dapat dilemahkan setelah ditelusuri berdasarkan pendekatan linguistik dan diperkuat pula oleh pembuktian genetika.

Berdasarkan pendekatan ‘Out of Taiwan’, migrasi leluhur dari Taiwan (Formosa) tiba terlebih dulu di Filipina bagian Utara sekitar 4500 hingga 3000 SM. Diduga migrasi dilakukan untuk memisahkan diri mencari wilayah baru di Selatan. Akibat dari migrasi ini kemudian membentuk budaya baru, termasuk diantaranya pembentukan cabang bahasa yang disebut Proto-Malayo-Polinesia (PMP). Teori migrasi awal bangsa Austronesia dari Formosa disampaikan oleh Daud A. Tanudirjo berdasarkan pandangan pakar linguistik Robert Blust yang menerangkan pola penyebaran bangsa-bangsa Austronesia.

Pada tahap selanjutnya sekitar 3500 hingga 2000 SM terjadi migrasi dari Masyarakat yang semula mendiami Filipina dengan tujuan Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku Utara. Migrasi yang berakhir di Maluku Utara ini kemudian meneruskan migrasinya sekitar tahun 3000 hingga 2000 SM menuju ke Selatan dan Timur. Migrasi di bagian Selatan menuju gugus Nusa Tenggara, sedangkan di bagian Timur menuju pantai Papua bagian Barat. Dari Papua Barat ini kemudian mereka bermigrasi lagi dengan tujuan wilayah Oseania hingga mencapai Kepulauan Bismarck (Melanesia) sekitar 1500 SM.

Pada periode 3000 hingga 2000 SM, migrasi juga dilakukan ke bagian Barat yang dilakukan oleh mereka yang sebelumnya menghuni Kalimantan dan Sulawesi menuju Jawa dan Sumatera. Selanjutnya, hijrah pun diteruskan menuju semenanjung Melayu hingga ke seluruh wilayah di Asia Tenggara. Proses migrasi berulang-ulang dan menghabiskan masa ribuan tahun tidak hanya membentuk keanekaragaman budaya baru, akan tetapi juga pola penuturan (bahasa) baru.

BAB 03; Konsepsi IBD dalam Kesustraan: 1. Kaitan Manusia dan Bahasa

A. Apa itu bahasa
Bahasa adalah sistem tanda yang digunakan sebagai lambang untuk merepresentasikan pikiran, konsep, dan pengalaman manusia. Bahasa berkaitan dengan kemampuan kognitif dan akal budi serta cara manusia mengonseptualisasikan dunia. Bahasa adalah dasar dari manah (Mithen, 1996: 44). Lambang adalah alat untuk membangun pengetahuan dan sarana berekspresi yang paling awal dan mendasar pada manusia (Cooper, 1978:7-8). Seluruh bahasa manusia bertumpu pada perlambangan (Benveniste (1971:73); perhatikan ungkapan animal simbolicum, “hewan yang menciptakan lambang”. (Kata animal diturunkan dari kata anima, ‘memiliki manah’ atau ‘jiwa’.)
Jean Piaget (1955), ahli psikologi perkembangan, mengatakan bahwa fungsi awal dari bahasa manusia bukanlah komunikasi tetapi simbolisasi (Cast, 1989:241). Ia berpendapat bahwa fungsi inteligensi manusia adalah membangun “realitas”, dan bahwa tahap-tahap perkembangan mental anak mencerminkan tahapan evolusi kognitif manusia (Mithen, 1996:35). Penelitian Piaget menunjukkan bahwa pada usia dini anak-anak telah menciptakan lambang untuk menamai benda dan hal di sekitarnya. Pada usia tiga tahun anak-anak sudah mampu membedakan mana yang simbolis dan mana yang nyata.

Bahasa sebagai alat representasi memungkinkan manusia menjelaskan hal-ikhwal kehidupan secara renik, jelas, dan tepat. Bahasa adalah perilaku sosial budaya yang muncul dari dorongan moral dan kecintaan akan kehidupan (Rosseau and Herder, 1966:11-12), dan alat untuk menata dunia, masyarakat dan pikiran (Yaguello,1998:75; Cassirer, 1955:158). Para linguis memerikan hakikat bahasa sebagai sifat pembeda dari manah yang khas manusiawi (Bateson, 1979: 92; Chomsky 1975:4; Wierzbicka, 1992: 40-44). Chomsky (1968:20) mengatakan bahwa bahasa membentuk manah. Menurut Bateson (1972: 344) manah adalah kumpulan bagian yang membawa perbedaan tetapi kait-mengait membentuk jaringan makna; tanpa perbedaan, tidak ada makna. Aitchinson (1999: 91) menunjukkan bahwa bahasa dan pikiran mencirikan manusia, karena dengan bahasa manusia dapat mengamati dan merenung. Bahasa berbeda dengan semua sistem tanda, karena ia dapat menafsirkan dirinya, semua sistem komunikasi lain, dan menjadikan dirinya objek telaah ilmiah (Benveniste 1971:56). Bapak linguistik moderen, Saussure menelaah bahasa sebagai: langage, kemampuan manusia mempelajari dan menciptakan bahasa; langue, sistem bahasa yang abstrak, sosial, bebas konteks; dan parole, bahasa kongkret dalam peristiwa wicara yang terikat konteks. Uraian berikut memerikan perilaku manusia yang khas dan kekhasan bahasa biasa. Diharapkan uraian dapat menerangkan manusia yang memiliki kebebasan, jati diri, dan martabat. Bahasa adalah wujud tunggal yang melandasi kemanusiaan dan keinsanian.

B.     Ciri Rancang Bahasa Manusia
Bahasa memiliki 22 ciri rancang yang memungkinkannya berkembang menjadi system komunikasi yang amat canggih.
Bunyi dan saluran komunikasi
(1) Bahasa manusia memanfaatkan saluran bunyi-dengar. Ia bertumpu pada bunyi yang dihasilkan oleh alat wicara dan ditangkap oleh sistem pendengaran (Denes & Pinson: 1993: 17-152). Pentingnya bunyi bahasa dan komunikasi lisan ditopang oleh bukti bahwa bayi suka bermain dengan bunyi bahasa, dan bahwa manusia menikmati keindahan bunyi bahasa dalam bercakap dan bernyanyi. Bahasa yang rumit hanya dijumpai pada manusia karena pemanfaatan perangkat bunyi sebagai tanda (Teyler, 1975: 121).
(2) Suara sebagai gelombang bunyi disiarkan ke segala arah dan dapat ditangkap oleh sistem pendengaran manusia dalam radius tertentu. Manusia dapat menentukan lokasi sumber bunyi; hal ini penting untuk survival (Denes & Pinson, 1993:79, dan 29).
(3) Bunyi bahasa bersifat sesaat, karena terdengar lalu lenyap. Untai bunyi bahkan tertangkap secara lengkap beserta maknanya pada saat ia menghilang (Ong, 1982:32). Ciri ini memungkinkan manusia bercakap-cakap secara bergantian dengan cepat dan berturut-turut.
(4) Untai bunyi bahasa sebagai tanda untuk menyampaikan makna dapat dipilah ke dalam unsur-unsur yang lebih kecil. Ujaran didengar dalam ujud analog, gelombang bunyi yang sambungmenyambung, namun di dalam benaknya manusia memilahkannya ke dalam satuan-satuan digital. Denes dan Pinson (1993:188-189) mengatakan bahwa terdapat “konverter” di benak manusia yang mengubah wujud analog menjadi digital sebagai representasi dari sinyal-sinyal akustik. Wilden (1972: 189) mengatakan bahwa pikiran manusia pun berwujud digital yang bersifat analitis, bernilai oposisi biner, dan analog bersifat dialektis, bernilai ganda.
(5) Bahasa manusia memungkinkan umpan balik sempurna. Seorang pencetus tanda dapat memantau bunyi dan mengatur volumenya dan mengulangi bunyi bilamana diperlukan.
Struktur
(6) Pola artikulasi ganda memungkinkan bunyi bahasa disusun dan diubah-ubah untuk mengungkapkan berbagai makna. Hal ini terjadi karena satuan lingual terdiri dari unsur-unsur bunyi pembeda makna (Field: 2003: 144). Contohnya, dengan lima fonem pembeda makna /t, a, h, u, n/, dapat dibentuk kata tahun, tuhan, hutan, hantu. Hakikat bahasa itu linear artinya bunyi atau kata sebagai satuan muncul berturut-turut, namun gagasan itu utuh dan muncul secara serempak. Ketika mendengar kalimat panjang, maka bagian demi bagian tertangkap oleh telinga, tetapi makna muncul pada akhir untai setelah diproses oleh manah. Manusia dapat memrakirakan kata yang akan muncul karena ia mengenali pola struktur satuan lingual.
Secara teoritis dari unsur bunyi yang terbatas dapat dirangkai untai kata yang tak berhingga; kata-kata dapat disusun menjadi kalimat yang tak berhingga jumlahnya; dan dengan memanfaatkan ciri rekursif, kalimat pun dapat digubah menjadi amat panjang (Yaguello, 1998:3). Namun, bahasa-bahasa di dunia hanya memanfaatkan jumlah pola struktur yang terbatas (prinsip kehematan). Pola membantu manusia mengenali dan mengingat satuan lingual. Unsur-unsur kebahasaan tidaklah disusun secara acak, karena susunan yang acak akan sukar dipahami dan sukar diingat.
(7) Bahasa manusia terikat oleh kaidah, bergantung pada struktur dan bertumpu pada prinsip kerja sama yang ketat. Ada kaidah fonetis/fonologis, sintaktis, dan semantis yang menyangkut struktur dalam suatu sistem yang bersifat hirarkis (Wilden, 1972: 155-157). Bateson (1972:143) mengatakan bahwa bahasa adalah system dari sistem-sistem yang terpadu. Bahasa terdiri dari hirarki bunyi, gramatikal, dan referensial yang kait-mengait membentuk keutuhan.
(8) Bahasa memungkinkan manusia menciptakan tuturan yang sama sekali baru dan belum pernah didengarnya (Lightfoot: 1983: 9).
Ciri semantis (makna)
(9) Bunyi bahasa diujarkan dengan tujuan membangun makna. Sekali ”nama” digunakan untuk melabeli suatu benda atau hal, maka ia terus digunakan untuk mengacu benda atau hal itu. Suatu kata mengacu semua benda atau hal sebagai kelompok bukan berdiri sendiri. Pemberian ”nama” mengikuti pola taksonomis atau model pengorganisasian tertentu (Harrison, 2007: 35).
(10) Bahasa manusia berkembang dan digunakan mengikuti kesepakatan (Aitchinson, 1976: 40). Meskipun manusia memiliki kemampuan bawaan untuk berbahasa, tetapi ia harus mengikuti
konvensi. Kenyataan ini menunjukkan bahwa bahasa adalah kontrak sosial: sosial dalam awal-mulanya, perkembangannya dan penggunaannya. (Kata sosial diturunkan dari kata socius, ‘kawan’).
                                                    
                                                      DAFTAR PUSTAKA

Leahy, Louis, Manusia Sebuah Misteri. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1989, hlm. 24-41

BAB 02; Manusia dan Kebudayaan: 1. Peradaban Manusia

PENGERTIAN PERADABAN

Peradaban berasal dari kata adab yang berarti kesopanan, kehormatan, budi bahasa dan etiket. Lawannya adalah biadab, kasar, kurang ajar dan tak tahu pergaulan. Peradaban adalah seluruh kehidupan sosial, politik, ekonomi, dan ilmu teknik untuk kegunaan praktis.Peradaban sebagai suatu perwujudan budaya yang didasarkan pada akal (rasio) semata-mata dengan mengabaikan nurani akan berlainan dengan perwujudan budaya yang didasarkan pada akal, nurani, dan kehendak sebagai kesatuan yang utuh. Manusia yang beradab adalah manusia yang memiliki kesopanan dan berbudi pekerti. Manusia yang tidak beradab = biadab.  Berikut penjelasan mengenai ukuran akhlak, kesopanan dan budi pekerti;

· Prof. Dr. Koentjaraningrat, peradaban ialah bagian- bagian kebudayaan yang halus dan indah seperti kesenian.
· Oswald Spengl (1880-1936) Kebudayaan ialah wujud dari seluruh kehidupan adat, industrial filsafat dan sebagainya, peradaban ialah kebudayaan yang sudah tidak tumbuh lagi, sudah mati.

Peradaban didefinisikan sebagai keseluruhan kompleksitas produk pikiran kelompok manusia yang mengatasi negara, ras, suku atau agama yang membedakannya dari yang lain.Beradab setidaknya sebuah masyarakat bersifat relatif dan harus ada norma. Kebutuhan akan adab dengan peradaban mengacu pada masyarakat yang memiliki organisasi sosial, kebudayaan dan cara berkehidupan yang sudah maju yang menyebabkan berbeda dari masyarakat lain.

Peradaban merupakan tahap kebudayaan tertentu dan telah maju yang bercirikan penguasaan ilmu pengetahuan, teknologi, seni dan lain-lain. Masyarakat memiliki peradaban yang berbeda-beda satu sama lain.

Beberapa pendapat mengenai peradaban yang disampaikan oleh para ahli:
1. Menurut Oswalg Spengl, Peradaban adalah kebudayaan yang mengalami perubahan dan menekankan pada kesejahteraan fisik dan material.
2  Menurut Anne Ahira, Peradaban adalah kebudayaan yang mengalami kemajuan yang tinggi.
3. Menurut KBBI, Peradaban adalah kemajuan yang menyangkut sopan santun, budi bahasa dana kebudayaan suatu bangsa.
Dalam kebudayaan Barat, manusia beradab adalah yang berpendidikan, sopan dan berbudaya. Ciri penting dalam definisi peradaban adalah berbudaya (cultured), antara lain: melek huruf (lettered).

 Menurut Damono sebagaimana dikutip oleh Oman Sukmana, kata “adab” berasal dari bahasa Arab yang berarti akhlak atau kesopanan dan kehalusan budi pekerti.
Adab erat hubungannya dengan:
· Moral yaitu nilai – nilai dalam masyarakat yang hubungannya dengan kesusilaan
· Norma yaitu aturan, ukuran atau pedoman yang dipergunakan dalam menentukan sesuatu yang baik atau salah.
· Etika yaitu nilai-nilai dan norma moral tentang apa yang baik dan buruk yang menjadi pegangan dalam mengatur tingksh laku manusia.
·  Estetika yaitu berhubungan dengan segala sesuatu yang tercakup dalam keindahan, kesatuan, keselarasan dan kebalikan.

Menurut Fairchild sebagaimana yang dikutip oleh Oman Sukmana, “peradaban” adalah perkembangan kebudayaan yang telah mencapai tingkat tertentu yang diperoleh manusia pendukungnya.

Menurut Bierens De Hans “peradaban” adalah seluruh kehidupan sosial, ekonomi, politik dan teknik. Jadi, peradaban adalah bidang kehidupan untuk  kegunaan yang praktis, sedangkan kebudayaan adalah sesuatu yang berasal dari hasrat dan gairah yang lebih murni diatas tujuan yang praktis hubungannya dengan masyarakat.

Menurut Prof. Dr. Koentjaraningrat “peradaban” adalah bagian-bagian kebudayaan yang halus dan indah seperti kesenian. Dengan demikian “peradaban” adalah tahapan tertentu dari kebudayaan masyarakat tertentu pula, yang telah mencapai kebudayaan tertentu pula, yang telah mencapai kemajuan tertentu yang dicirikan oleh tingkat ilmu pngetahuan, teknologi dan seni yang telah maju. Masyarakat tersebut dapat dikatakan telahmengalami proses perubahan sosial yang berarti, sehingga taraf kehidupannya makin kompleks.

2. Pengertian Manusia sebagai Makhluk Beradab dan Masyarakat Adab
Manusia disamping sebagai makhluk Tuhan, sebagai makhluk individu juga sebagai makhluk sosial budaya, dimana saling berkaitan satu dengan yang lain. Sebagai makhluk Tuhan manusia memiliki kewajiban mengabdi kepada Sang Kholik, sebagai makhluk individu manusia harus memenuhi segala kebutuhan pribadinya dan sebagai makhluk sosial budaya manusia harus hidup berdampingan dengan manusia lain dalam kehidupan yang selaras dan saling membantu.

Manusia sebagai makhluk sosial disini merupakan anggota masyarakat yang tentunya mempunyai  tanggungjawab seperti anggota masyarakat lain, agar dapat melangsungkan hidupnya dalam masyarakat tersebut. Oleh karena itu, manusia yang bertanggungjawab adalah manusia yang dapat menyatakan bahwa tindakannya itu baik dalam arti menurut norma umum.

Untuk menjadi makhluk yang beradab, manusia senantiasa harus menjunjung tinggi aturan-aturan, norma-norma, adat-istiadat, ugeran dan wejangan atau nilai-nilai kehidupan yang ada di masyarakat yang diwujudkan dengan menaati berbagai pranata sosial atau aturan sosial, sehingga dalam kehidupan di masyarakat itu akan tercipta ketenangan, kenyamanan, ketentraman dan kedamaian. Dan inilah sesungguhnya makna hakiki sebagai manusia beradab.

Konsep masyarakat adab dalam pengertian yang lain adalah suatu kombinasi yang ideal antara kepentingan pribadi dan kepentingan umum. Dalam suatu masyarakat yang adil, setiap orang menjalankan pekerjaan yang menurut sifat dasarnya dianggap  paling cocok bagi setiap orang tersebut, yang tentunya perlu adanya keselarasan dan keharmonisan. Namun demikian keinginan manusia untuk mewujudkan keinnginannya atau haknya sebagai salah satu bentuk pemenuhan kebutuhan hidup, tidak boleh dilakukan secara berlebihan bahkan merugikan manusia lain. Manusia dalam menggunakan hak untuk memenuhi kepentingan pribadinya tidak boleh melampaui batas atau merugikan kepentingan orang lain. Sebagai suatu anggota masyarakat yang beradab manusia harus bisa menciptakan adanya keseimbangan antara kepentingan pribadi dan kepentingan umum. Jadi, perlu adanya suatu kombinasi yang ideal antara kepentingan pribadi dan kepentingan umum.

3. Evolusi dan Tahapan-tahapan Peradaban
Evolusi diajukan sebagai faktor kebudayaan pada sekitar pertengahan abad ke – 19 dan dengan segera pula menjadi kategori budaya yang sangat populer. Mereka yang menerapkan gagasan evolusi pada pertumbuhan kebudayaan tidak begitu melukiskan proses yang sungguh-sungguh terjadi, melainkan hanya menyusun sebuah artificial selection diantara ratusan peristiwa dan kejadian yang laludiurutkan menurut skema evolusi. Menurut JWM Baker SJ, mereka tidak sampai menerangkan jalan kebudayaan dengan teori evolusi, tetapi mencoba membuktikan evolusi dengan data budaya yang ada.

Proses evolusi kebudayaan hanya dipandang dari jauh, yakni dengan mengambil jangka waktu yang panjang, misalnya beberapa ribu tahun yang lalu, maka akan menampakkan perubahan-perubahan besar yang seolah menentukan arah (directional) dari sejarah perkembangan kebudayaan yang bersangkutan. Perubahan – perubahan tersebut direkonstruksi dengan menganalisa sisa-sisa dari benda hasil kebudayaan manusia pada jaman dahulu yang antara lain digali dari lapisan bumi diberbagai tempat. Menurut Alfin Tofler tahapan peradaban dapat dibagi atas tiga tahapan, yaitu :
1. Gelombang pertama sebagai tahap peradaban pertanian, dimana dimulai kehidupan baru dari budaya meramu ke bercocok tanam (revolusi agraris).
2. Gelombang kedua sebagai tahap peradaban industri penemuan mesin uap, energi listrik, mesin untuk mobil dan pesawat terbang (revolusi industri).
3. Gelombang ketiga sebagai tahap peradaban informasi. Penemuan teknologi informasi dan komunikasi (ICT) dengan komputer atau alat komunikasi digital.

Menurut John Naisbitt mengemukakan bahwa era informasi menimbulkan gejala mabuk teknologi, yang ditandai dengan beberapa indikator, yaitu :
1. Masyarakat lebih menyukai penyelesaian masalah secara kilat.
2. Masyarakat takut sekaligus memuja teknologi.
3. Masyarakat mengaburkan perbedaan antar yang nyata dan yang semu.
4. Masyarakat menerima kekerasan sebagai sesuatu yang wajar.
5. Masyarakat mencintai teknologi dalam bentuk mainan, dan
6. Masyarakat menjalani kehidupan yang berjarak dan terenggut.

DAFTAR PUSTAKA

Tim Penulis. 2010. Bahan Ajar: Ilmu Sosial dan Budaya Dasar. Unit Penerbitan Universitas Negeri Jakarta: Jakarta.
Prasetya, Joko Tri. 1991. Ilmu Budaya Dasar.  Rineka Cipta: Jakarta.