Judul :
Di Balik Marx : Sosok dan Pemikiran
Friedrich Engels
Penulis :
Coen H. Pontoh – Iqra Anugrah – Martin Suryajaya – M. Zaki Husein – Stanley Khu – Dede Mulyanto
Penerbit : Margin
Kiri
Pendekatan : Ilmu
Pengetahuan dan Sosiologi
Disini, saya akan
membahas bagaimana buku Di Balik Marx; Sosok dan Pemikiran Friedrich
Engels (2015). Buku DBM ini mengemukakan peranan Engels dalam
pengembangan Marxisme. Serta peranan Engels dalam kontribusinya bagi ilmu
pengetahuan. Tulisan ini akan fokus pada dua peran Engels yang dibahas dalam
buku ini. Pertama, apa sumbangsih filosofis Engels dalam Marxisme secara umum?
Serta filsafatnya secara umum. Kedua, bagaimana sumbangsih filosofis tersebut
memberikan implikasi dalam cara memandang manusia terutama dalam disiplin ilmu sosial?
Dan dalam cara memandang masyarakat juga.
Secara umum,
pengaruh Marx dan Engels dalam disiplin ekonomi politik tentu saja berkaitan
dengan sosiologi. Yaitu, bagaimana menerapkan materialisme dalam proses dialektika
sejarah manusia. Tentu saja materialisme yang dipahami Marx dan Engels bukan
materialisme ala Feurbach yang menyatakan bahwa realitas semata-mata merupakan
hal ikhwal yang muncul dari objek. Bagi Marx maupun Engels, objek dalam
materialisme dapat dipahami juga sebagai aktivitas subjektif. Materialisme
demikian disebut ‘materialisme subjektif’, yakni bahwa realitas adalah hal ikhwal
yang berasal dari keberadaan objek sekaligus aktivitas subjektif. Dengan
demikian, secara ontologis, materialisme ala Marx dan Engels berarti segala
yang semesta fisik sekaligus bertopang pada semesta fisik. Dalam kerangka
materialisme tersebut, peran Engels sangat besar terutama dalam membantu
melengkapi proyek intelektual Marx untuk mengembangkan analisa materialism yang
mutakhir. Berkaitan dengan hal itu, Marx dan Engels memang bukan pencipta istilah
dialektika materialisme. Istilah ini pertama kali digunakan untuk menggambarkan
pandangan dunia ala Marxis oleh Menshevik Georgy Plekanov tahun 1891.
Sedangkan
Engels sendiri juga tidak mengacu pada istilah materialisme historis. Melainkan
“pandangan materialis terhadap sejarah” (the materialist view of history). Kerjasama
intelektual yang penting tersebut diakui oleh Marx dalam surat yang ditulisnya
untuk Engels yakni, “without you, I would never had been able to bring the
work to a conclusion...”. Peran Engels menurut Hollander, misalnya
berkaitan kritik ekonomi politik, nilai dan distribusi, ketidakstabilan
makroekonomi, proses industrialisasi, kondisi klas pekerja di Inggris
(menyangkut pendapatan, pekerjaan, dan perkembangan populasi), dan lain
sebagainya. Peran-peran Engels tentu sangat luas bagi Marxisme.
Kontributor-kontributor buku DBM mencoba mengetengahkan jawabannya melalui
topik-topik seperti; Rekonstruksi Filsafat Engelsian, Historiografi Popular,
Teori Negara, dan sebagainya. Pemilihan topik-topik ini dalam beberapa hal akan
membuka kemungkinan kembali bagaimana cara membahas Marxisme yang taat dengan
refleksi dan konteks kontemporer perkembangan diskursus realitas sosial dalam
ilmu pengetahuan. Yang paling penting bagaimana mengemukakan kembali Marxisme
sebagai yang benar-benar berbeda dalam perihal kajian-kajian sosial berbasis
analisis Marxian.
Dalam beberapa
hal, pembaca yang kenal dengan kajian-kajian dalam literatur-literatur yang
ditulis oleh akademisi Amerika, Australia atau Eropa, tentu akan melihat
kembali secara afirmatif beberapa topik di dalam buku ini. Seperti bentuk
formal kajian akademik Marxian, namun dengan konteks upaya akademisi Indonesia
untuk memanfaatkan materialisme dialektika dan materialisme historis sebagai
metode ilmiah. Dan dalam tingkatan tertentu, ada dua upaya yang cukup
meyakinkan ditampilkan oleh Dede Mulyanto melalui tulisan Prakondisi
Anatomis kerja, serta Martin Suryajaya dengan Naturalisme
Ontologis yang patut diapresiasi. Upaya Mulyanto secara umum adalah
memperkenalkan penggunaan materialisme dialektika dan materialisme historis
dalam kajian-kajian kontemporer. Sedangkan Suryajaya merintis berbagai teks
yang diperlukan bagi pembentukan pemahaman-pemahaman Marxisme. Terbitnya DBM,
yang khusus mengkaji pemikiran Engels dalam Marxisme tentu merupakan suatu fase
penting. Yaitu untuk meluruskan bagaimana dilema berpikir ilmiah atau berpikir
objektif setelah argument post-modernisme yang menyatakan
proses berpikir objektif dan evolutif sebagai sesuatu yang telah menegasikan
keberadaan manusia. Kritik-kritik terhadap objektivitas dan penjelasan evolutif
dalam ilmu pengetahuan sosial secara tidak langsung telah menyerang
naturalisasi ilmu sosial. Berkaitan dengan hal tersebut, tulisan Mulyanto
tentang Prakondisi Anatomis Kerja dan Suryajaya tentang Naturalisme
Ontologis menjadi penting untuk diperhatikan.
Di dalam Ideologi
Jerman, Marx dan Engels menyatakan bahwa “ketika spekulasi berakhir, ilmu
yang (akan mengambil bagian untuk) menguraikan aktivitas praktis, proses
praktis dari kehidupan manusia. Frase-frase kosong tentang kesadaran kemudian
berahir...”. Filsafat yang berkisah tentang spekulasi mengenai kesadaran
manusia harusnya mengakui keterbatasannya. Engels maupun Marx dalam hal ini
menunjukkan bahwa lambat laun penggambaran mengenai manusia harus melalui
penyelidikan yang ilmiah. Melalui ilmu pengetahuan, rahasia di balik aktivitas
manusia dapat diungkap. Sedangkan filsafat yang berpegang pada analisa
spekulatif tidak akan bertahan. Yang dimaksud oleh Engels maupun Marx adalah
perihal filsafat yang ‘memadai diri’ sebagai penjelas realitas. Filsafat yang
memadai dirinya sebagai alat untuk mengungkap realitas berarti filsafat yang
secara semena-mena mengambil otoritas dan otonomi dalam bidang penyelidikan
tertentu. Dengan demikian, berdasarkan otoritas dan otonomi tersebut, filsafat
seakan tidak ingin diganggu oleh temuan ilmu pengetahuan.
Berkaitan
dengan berakhirnya otonomi filsafat, salah-satu tulisan dalam DBM oleh
Suryajaya hendak membahas naturalisasi ontologis. Tulisan Suryajaya
mengungkapkan suatu proses rekonstruksi naturalisme ontologis melalui
penyusunan kembali relasi antara Tesis Naturalisme Ontologis , Teorema
Fundamental Dialektika dan materialisme historis. Proyek penyusunan filsafat
alam tersebut dilakukan melalui rekonstruksi naturalisme ontologis yaitu dengan
merumuskan definisi tentang “Ada”, “Asas Penjelasan”, “Parafrase
disposisional”, dan “Tiga Hukum Dialektika”. Proses rekonstruksi yang dilakukan
oleh Suryajaya berkaitan dengan proses pembuktian Tesis Materialisme Historis. Materialisme
historis berasal dari penerimaan Engels terhadap “Tiga Hukum Dialektika” Hegel
dengan syarat rejeksi esensialisme dan fisikalime-Cartesian Hegel. Tiga hukum
dialektika Hegel direvisi tentu dengan beberapa catatan, yang merupakan bagian
dari pengaruh Origin karya Darwin bagi Engels dan Marx. Origin karya
Darwin, membawa Engels pada kesimpulan bahwa Hegel telah berbohong dengan
menyelipkan pembahasan alam serta sejarah. Meskipun yang dilakukan Hegel
sebenarnya adalah penyeledikan mengenai sejarah hukum pemikiran. Menurut
Engels, Hegel hanya membahas mengenai sejarah dan ide, dan bukan eksplanasi
tentang derivasinya dari sejarah alam itu sendiri.
Meskipun
demikian, di Indonesia, rekonstruksi filsafat Marxisme atau dalam hal ini
Engelsian adalah soal bagaimana memecahkan persoalan klasik yang muncul dari
semesta fisik dan semesta mental. Persoalan klasik tersebut adalah seputar mana
yang independen, mendeterminasi, atau pola relasional antara keduanya.
Berkaitan dengan berakhirnya otonomi filsafat sebagai pembahasan umum,
sebenarnya yang hendak dilakukan secara spesifik yaitu bagaimana menunjukkan
persoalan ini dalam perdebatan antara fisikalisme dan dualisme. Berhubungan
dengan hal tersebut, buku DBM memaparkan kembali beberapa persoalan penting
soal memecahkan persengketaan filosofis antara fisikalisme dan dualisme.
Suryajaya misalnya, menunjukkan pemecahan ini dengan memperlihatkan
rekonstruksi filsafat alam Engelsian melalui model analitik terhadap tiga hukum
dialektika. Sebenarnya, Suryajaya dalam salah satu artikelnya tentang
Intensionalitas Fisik, membahas suatu cara pembuktian bahwa intensionalitas
terdapat dalam semesta mental karena intensionalitas terdapat semesta fisik
melalui rekonstruksi Tesis Umum Intensionalitas yang dibangun dari Martin
Molnar. Sedangkan model pemecahannya dalam konteks ilmu sosial secara implisit
muncul dari tulisan Iqra Anugrah dalam buku ini. Yang membahas tentang
historiografi Engelsian dengan menyatakan bahwa Engels sepenuhnya dalam kajian
Perang Tani di Jerman tidak mereduksi aspek-aspek ideasional sebagai bagian
dari kajian semesta mental yang seringkali dianggap abstraksi belaka sebagai
bentuk kritik terhadap kajian Perang Tani Zimmermann.
Banyak kajian
berkembang berkaitan dengan sejauh mana relevansi analisa Materialisme Historis
pasca Perang Dingin. Komentator yang bergelut dalam ilmu-ilmu sosial
beranggapan bahwa kejatuhan Soviet dan proyek politik tahun 1989 merupakan awal
dari kejatuhan analisis Materialisme Marxis yang menyebabkan intelektual mulai
tidak tertarik lagi untuk menggunakannya. Intelektual yang menganalisis
proses-proses globalisasi dan privatisasi misalnya menganggap bahwa
Materialisme Historis sebagai alat analisis, tidak cukup baik untuk mengkaji
persoalan senjata nuklir, kontrol militer atau tentang bagaimana kekuatan
finansial memainkan peranan besar pada masa sekarang. Tentu saja perkembangan
mutakhir yang mewujud dalam masalah tersebut merupakan tantangan bagi
penulisan-penulisan lanjut pasca buku DBM. Kejatuhan peristiwa politik
komunisme tidak membuktikan dua hal: pertama, bahwa materialisme
dialektika-historis tidak dapat dicapai sebagai keniscayaan yang ada. Sehingga
dengan demikian, merupakan suatu yang utopis dan tak relevan dengan
narasi-narasi emansipatif apapun. Kedua, karena relevansi materialisme
dialektika-historis tidak dapat dicapai melalui manifestasi politik-ekonomi,
maka materialisme dialektika-historis sepenuhnya utopis. Dua kritik tersebut
pada aras yang pertama masih dapat diperdebatkan. Sedangkan untuk yang kedua,
tidak dapat disangkal bahwa suatu penjelasan fundamental materialisme
bahwa matter sebagai pembentuk esensi, atau bahwa dalam kasus
pikiran sebagai yang diturunkan dari otak, masih terus dikaji dalam lapangan
sains hingga hari ini.
Khusus dalam
kajian perilaku, otak dan evolusi, hingga hari ini menunjukkan bahwa satu dari
dua bagian isi dialektika materialisme yakni: entitas immaterial diturunkan
secara niscaya melalui segala yang material berada dalam kajian serius sains.
Perdebatan dalam wilayah sains yang menyangkut manusia dan alam semesta terus
terjadi. Pada satu sisi menunjukkan dasar asumsi dari pendapat Engels bahwa
penjelasan yang dari temuan ilmu pengetahuan berarti hendak membangun orientasi-orientasi
utopis. Salah satu sumbangan besar Engels terhadap marxisme dan filsafat pada
umumnya adalah program naturalisasi filsafat yang berkaitan dengan bagaimana
aras kesadaran dan semesta fisik berkelindan. Lebih dari itu, sumbangan
naturalisasi filsafat memberikan kejelasan tentang posisi pemikiran ilmiah yang
dilekatkan dengan sosialisme dan implikasinya terhadap perjuangan emansipatif.
Melalui naturalisasi filsafat, perspektif Engels dapat digunakan untuk
memberikan semacam panduan untuk menghindari terjebaknya perjuangan emansipatif
ke dalam fiksi kesetaraan. Artinya, alih-alih membebaskan manusia, yang terjadi
justru terjebaknya gerakan-gerakan tersebut ke dalam agenda-agenda kapitalisme.
Dan tentu saja yang lebih memalukan lagi, munculnya sikap anti ilmu pengetahuan
sebagai basis dari perjuangan emansipatif.
Dengan
demikian, sumbangan penting Engels bagi ilmu pengetahuan dapat dilihat dengan
dua cara. Pertama, berkaitan dengan peran Engels, misalnya dalam temuan-temuan
filsafat alam tentang kosmogoni, fisika, kimia, dunia organik, dialektika dan
sebagainya. Topik tersebut dapat kita baca dalam salah-satu karya penting
Engels, Anti-Duhring. Ulasan-ulasan Engels tentang sejarah
alam semesta dalam Anti-Duhring paling tidak memperlihatkan kapasitas
intelektual yang tidak main-main. Pada beberapa sisi, mengingatkan kita pada
kajian alam semesta Stephen Hawking dalam The Theory of
Everything. Sumbangan pertama meniscayakan sumbangan kedua, yakni
mengenai penjelasan-penjelasan mutakhir tentang ekonomi dan politik serta
masyarakat, hingga manusia itu sendiri. Sumbangan-sumbangan Engels tersebut,
beberapa telah disinggung dalam buku ini. Yang oleh karena itu, sumbangan
kompleks Engels dalam satu sisi yang paling menarik adalah bagaimana ia akan
membantu rekonstruksi Marxisme kontemporer di Indonesia. Karena melalui buku ini
kita diajak untuk memikirkan kembali segala cara pandangan teoritikal tentang
manusia, masyarakat, dan alam semesta.
–
END –
Tidak ada komentar:
Posting Komentar