Senin, 27 Juni 2016

Review Buku Neoliberalisme dan Restorasi Kelas Kapitalis



Judul                           :           Neoliberalisme dan Restorasi Kelas Kapitalis
Penulis                        :           David Harvey
Penerbit                      :           Resist
Pendekatan                 :           Ekonomi – Politik Globalisasi

buku-neoliberalisme.jpg (404×624)



            Banyak telaah tentang teori-teori kapitalisme kontemporer melihat Neoliberalisme pada prinsipnya sebagai wujud dari perkembangan baru dari praktik imperialisme. Fase ini dimulai ketika terjadi kegagalan atas penerapan ekonomi neo klasik yang masih menerapkan intervensi “regulasi pemerintah”. Dengan memberikan titik tekan pada ”regulasi pemerintah” untuk menghidari kekeliruan asumsi bahwa dengan praktik neoliberalisme maka peran negara dihabisi. Negara sekiranya pada posisi tertentu sebenarnya justru tetap eksis dan mengambil langkah yang lebih meningkat dalam sistem neolibalisme. Teori menghilangnya negara dalam sistem neolibalisme sebenarnya justru banyak hal dipakai oleh kaum imperialisme untuk mendorong keyakinan ideologis bahwa negara memang sangat penting bagi perlindungan rakyat sehingga pasar tidak harus dilepas secara bebas. Bagi penggagas neoliberalisme harus dikeluarkan dari jerat regulasi apapun yang menghambat dinamika pasar. Melalui tokohnya, August von Hayek dan Milton Friedman, mereka menentang apa yang digagas oleh ekonom klasik seperti John M. Keynes yang mengatakan bahwa pemerintah mempunyai tugas untuk mengontrol seluruh aktifitas kehidupan ekonomi. Bagi Friedman, kebijakan semacam ini justu akan membangkrutkan masyarat, alur argumentasi secara umum terhadap problem Neoliberalisme tertangkap demikian.

            Buku Neoliberalisme dan Restorasi Kelas Kapitalisme karya David Harvey merupakan sekian khasanah buku yang cukup kritis untuk membaca pola transformasi dan berbagai selubung tersembunyi dari motif kapiralisme muktahir. Tahun 1970-an dianggap sebagai lompatan konfigurasi ekonomi politik sangat penting. Neoliberalisme dianggap sebuah resep ampuh untuk membangun sistem ekonomi politik baru yang bisa keluar dari situasi krisis. Karya David Harvey ini berusaha mengisi kekosongon telaah kajian tentang Neoliberalisme yang cenderung masih bersifat umum. David Harvey meyakini bahwa sangat penting untuk membaca keseluruhan situasi dan polemik dan dalam istilah harvey disebut sebagai “drama ekonomi politik” yang melatarbekangi mengapa gagasan dan ide Neoliberalisme cukup berkembang pesat. Buku ini secara eksplisit mengingatkan bahwa tidak mudah memetakan karakter secara umum dari negara dalam era neoliberalisme. Menurut Harvey, ada dua alasan penting: yang pertama, karena banyak praktik negara menyimpang dari derskripsi teorinya. Dan kedua, adanya dinamika neoliberalisme yang sedemikian rupa sehingga memaksa berbagai bentuk adaptasi yang sangat bervariasi dari negara satu dengan negara yang lain.


            Harvey menyebutnya sebagai bersifat transisional atau tidak stabil. Diantara ketegangan-ketegangan itu kemudian terlihat disparitas yang kemudian semakin nampak bahwa neoliberalisme menghadirkan banyak paradoks dan kontradiksi. Negara dalam image propaganda neoliberal sebagai “penonton” justru kian hari semakin memainkan peranan penting dalam memainkan regulasi yang kadang justru sangat intervensionis. Neoliberalisme justru menampakkan wajah otoritarianismenya ketimbang janji kebebasan yang dibilang. Kekuasaan korporasi justru banyak hal merampas kebebasan individu yang dijanjikan dalam retorika kaum neoliberal. Lalu, integritas ekonomi yang dijanjikan sebagai cara untuk pengaturan pasar justru sering membuka peluang spekulasi-spekulasi tidak bertanggungjawab, skandal keuangan dan instabilitas sistem ekonomi yang kronis. Selanjutnya, iklim kompetisi yang menjadi prasyarat pasar bebas justru makin menyuburkan konsolidasi kekuatan oligpolistik, monopoli dan kekuasaan korporasi yang sentralistik. Berikutnya, kredo untuk kebebasan justru menyebabkan banyak destruksi solidaritas sosial.

            Kita bisa meneti jauh untuk membongkar ruang kosong yang disebut Harvey sebagai “disparitas yang ideal dan yang real” dengan membongkar dan mematahkan keseluruhan konsepsi neoliberal dengan kenyataan fakta-fakta yang berjalan. Penting memetanarasikan segala konsep dan pengertian yang terkandung dalam diskursus neoliberalisme. Yang cukup dilihat dari seluruh perkembangan itu adalah bahwa seluruh konsepsi dan perspektif yang kemudian berkembang dan diterima sebagai keuakinan umum yakni buah campur tangan dari kekuatan “aparatus konseptual”. Daya pikat ide sangat dipengaruhi bagaimana “aparatus konseptual” ini bekerja dengan sangat efektifnya. Yang dibawa seakan sudah menjadi realitas yang harus diterima. Dengan cukup memaparkan bagaimana sebuah gagasan seperti mantra “kebebasan” dan “martabat manusia” dijadikan nilai ideal universal. Dan dengan mantra kebebasan ini pula yang melahirkan berbagai gerakan-gerakan politik seperti di Eropa Timur, Soviet atau juga reformasi politik Cina. Atas nama kebebasan ini pula yang menjadi ikon propaganda Amerika untuk mengalahkan beberapa rival kepentingan politik.


            Kekuasaan Irak dibawah Sadam Husein tumbang atas nama “kebebasan”. Dibalik nama kebebasan pula pasca tumbangnya rezim Sadam, Paul Bremer, Kepala Sementara Koalisi di Irak. Mereka mengesahkan berbagai keputusan perubahan disekitar pengaturan politik dan ekonomi. Irak pasca Sadam Husein menjadi Irak yang sudah sangat liberal. Sistem ekonomi politik didorong mengikuti pola dan sistem neoliberal. Intervensi penguasaan asing menjadi sangat terbuka. Kebijakan yang berubah drastis itu meliputi privatisasi menyeluruh atas perusahaan-perusahaan publik, hak-hak kepemilikan secara penuh atas bisnis-bisnis Irak oleh perusahaan-perusahaan asing, repratiasi secara total atas laba asing dan pembukaan seluas-luasnya terhadap masuknya modal asing. Parahnya, kebijakan itu berlaku untuk segala bidang baik pelayanan publik, media, manufaktur, jasa, transportasi, keuangan dan konstruksi.

            Relasi keseluruhan kebijakan liberalisasi pasar di Irak dengan mantra kebebasan yaitu propaganda dominan barat menilai bahwa kebebasan individu sebagai ciri dasar dari martabat mansuia dengan sendirinya akan terwujud dengan penghilangan batas aturan politik ekonomi. Tentu premis ini bila dibaca lebih sekedar menjadi jargon ketimbang realitas yang dihadapi Irak sekarang. Kebebasan di Irak menjadi wajah Tirani baru. Yang hadir bukannya kebebasan yang dibayangkan. Liberalisasi pasar justru memahat peradan baru bagi Irak yakni politik represi dan dominasi. Di balik slogan kebebasan, tersembunyi kepentingan penaklukan atas negeri lain. Ini buah dari transformasi Neoliberalisme. Nasib serupa pernah juga dialami oleh berbagai negara seperti Chili, Argentina, Brasil, Mexico dan negara-negara Asia Tenggara yang begitu gampangnya mengadopsi kebijakan ini.

            Yang terjadi setelah neoliberalisme menjadi mazhab dominan dalam pola ekonomi politik dunia, maka terbentuk aktor-aktor baru yang merupakan badan berpengaruh pada perjalanan neoliberalisme. Beberapa aktor penting yang bisa disebutkan disini adalah: pertama, World Trade Organization (WTO) yang didirikan pada tahun 1994 dan merupakan kelanjutan dari GATT (General Agreement Tariffs and Trade), organisasi perdagangan ini beranggotakan 144 negara termasuk Indonesia. Di sini diatur berbagai aturan peraturan perdagangan baik barang, jasa maupun HAKI terkait perdagangan. Tentu saja proses keputusan dalam WTO selalu dimenangkan oleh kepentingan negara-negara maju sehingga produk dari keputusan WTO akhirnya bukannya memperbaiki ekonomi dunia berkembang melainkan terjebak mereka kedalam hisapan imperialisme barat. Aktor kedua adalah lembaga bantuan keuangan asing seperti IMF ataupun ADB maupun Bank Dunia yang nyata-nya mereka juga memberi pintu terbuka pada keterpurukan Indonesia melalui politik jebakan hutang luar negerinya. Dalam memberikan terapi pada negara-negara berkembang biasanya selalu disertakan syarat-syarat ketat dan perubahan fundamental seperti yang ada pada praktek politik deregulasi dan privatisasi. Apa yang selama ini disebutkan sebagai kebijakan Penyelesaian Struktural (Structural Adjusment Program, SAP) hanyalah berarti bahwa seluruh kebijakan yang ada dalam syarat-syarat hutang luar negeri harus diorientasikan pada pemberian pintu seluas-luasnya kepentingan modal asing untuk menguasai Indonesia. Ketiga, adalah Lembaga-lembaga Internasional seperti PBB dan seluruh lembaga pemberi donor dalam pembangunan Indonesia. Politik Hak Veto bisa merupakan bukti bagaimana lembaga dunia tersebut jatuh dalam kaki kekuasaan negara maju. Perang Imperialisme negara maju seperti yang terjadi di Irak, Afganistan maupun intervensi pada negara-negara penentang lainnya seperti Korea Utara dan beberapa di negara Amerika Latin merupakan fakta bahwa PBB hanyalah lembaga bentukan dalam kepentingan Imperialisme Barat.

        END      

Review Buku Di Balik Marx : Sosok dan Pemikiran Friedrich Engels



Judul               :           Di Balik Marx : Sosok dan Pemikiran  Friedrich Engels
Penulis             :           Coen H. Pontoh – Iqra Anugrah – Martin Suryajaya – M. Zaki Husein –                                        Stanley Khu – Dede Mulyanto
Penerbit           :           Margin Kiri
Pendekatan     :           Ilmu Pengetahuan dan Sosiologi


5081853_ac8975d7-d416-4ccc-ba3d-5ed26234d607.jpg (600×437)



            Disini, saya akan membahas bagaimana buku Di Balik Marx; Sosok dan Pemikiran Friedrich Engels (2015). Buku DBM ini mengemukakan peranan Engels dalam pengembangan Marxisme. Serta peranan Engels dalam kontribusinya bagi ilmu pengetahuan. Tulisan ini akan fokus pada dua peran Engels yang dibahas dalam buku ini. Pertama, apa sumbangsih filosofis Engels dalam Marxisme secara umum? Serta filsafatnya secara umum. Kedua, bagaimana sumbangsih filosofis tersebut memberikan implikasi dalam cara memandang manusia terutama dalam disiplin ilmu sosial? Dan dalam cara memandang masyarakat juga.

            Secara umum, pengaruh Marx dan Engels dalam disiplin ekonomi politik tentu saja berkaitan dengan sosiologi. Yaitu, bagaimana menerapkan materialisme dalam proses dialektika sejarah manusia. Tentu saja materialisme yang dipahami Marx dan Engels bukan materialisme ala Feurbach yang menyatakan bahwa realitas semata-mata merupakan hal ikhwal yang muncul dari objek. Bagi Marx maupun Engels, objek dalam materialisme dapat dipahami juga sebagai aktivitas subjektif. Materialisme demikian disebut ‘materialisme subjektif’, yakni bahwa realitas adalah hal ikhwal yang berasal dari keberadaan objek sekaligus aktivitas subjektif. Dengan demikian, secara ontologis, materialisme ala Marx dan Engels berarti segala yang semesta fisik sekaligus bertopang pada semesta fisik. Dalam kerangka materialisme tersebut, peran Engels sangat besar terutama dalam membantu melengkapi proyek intelektual Marx untuk mengembangkan analisa materialism yang mutakhir. Berkaitan dengan hal itu, Marx dan Engels memang bukan pencipta istilah dialektika materialisme. Istilah ini pertama kali digunakan untuk menggambarkan pandangan dunia ala Marxis oleh Menshevik Georgy Plekanov tahun 1891.

            Sedangkan Engels sendiri juga tidak mengacu pada istilah materialisme historis. Melainkan “pandangan materialis terhadap sejarah” (the materialist view of history). Kerjasama intelektual yang penting tersebut diakui oleh Marx dalam surat yang ditulisnya untuk Engels yakni, “without you, I would never had been able to bring the work to a conclusion...”.  Peran Engels menurut Hollander, misalnya berkaitan kritik ekonomi politik, nilai dan distribusi, ketidakstabilan makroekonomi, proses industrialisasi, kondisi klas pekerja di Inggris (menyangkut pendapatan, pekerjaan, dan perkembangan populasi), dan lain sebagainya. Peran-peran Engels tentu sangat luas bagi Marxisme. Kontributor-kontributor buku DBM mencoba mengetengahkan jawabannya melalui topik-topik seperti; Rekonstruksi Filsafat Engelsian, Historiografi Popular, Teori Negara, dan sebagainya. Pemilihan topik-topik ini dalam beberapa hal akan membuka kemungkinan kembali bagaimana cara membahas Marxisme yang taat dengan refleksi dan konteks kontemporer perkembangan diskursus realitas sosial dalam ilmu pengetahuan. Yang paling penting bagaimana mengemukakan kembali Marxisme sebagai yang benar-benar berbeda dalam perihal kajian-kajian sosial berbasis analisis Marxian.

            Dalam beberapa hal, pembaca yang kenal dengan kajian-kajian dalam literatur-literatur yang ditulis oleh akademisi Amerika, Australia atau Eropa, tentu akan melihat kembali secara afirmatif beberapa topik di dalam buku ini. Seperti bentuk formal kajian akademik Marxian, namun dengan konteks upaya akademisi Indonesia untuk memanfaatkan materialisme dialektika dan materialisme historis sebagai metode ilmiah. Dan dalam tingkatan tertentu, ada dua upaya yang cukup meyakinkan ditampilkan oleh Dede Mulyanto melalui tulisan Prakondisi Anatomis kerja, serta Martin Suryajaya dengan Naturalisme Ontologis yang patut diapresiasi. Upaya Mulyanto secara umum adalah memperkenalkan penggunaan materialisme dialektika dan materialisme historis dalam kajian-kajian kontemporer. Sedangkan Suryajaya merintis berbagai teks yang diperlukan bagi pembentukan pemahaman-pemahaman Marxisme. Terbitnya DBM, yang khusus mengkaji pemikiran Engels dalam Marxisme tentu merupakan suatu fase penting. Yaitu untuk meluruskan bagaimana dilema berpikir ilmiah atau berpikir objektif setelah argument  post-modernisme yang menyatakan proses berpikir objektif dan evolutif sebagai sesuatu yang telah menegasikan keberadaan manusia. Kritik-kritik terhadap objektivitas dan penjelasan evolutif dalam ilmu pengetahuan sosial secara tidak langsung telah menyerang naturalisasi ilmu sosial. Berkaitan dengan hal tersebut, tulisan Mulyanto tentang Prakondisi Anatomis Kerja dan Suryajaya tentang Naturalisme Ontologis menjadi penting untuk diperhatikan.

            Di dalam Ideologi Jerman, Marx dan Engels menyatakan bahwa “ketika spekulasi berakhir, ilmu yang (akan mengambil bagian untuk) menguraikan aktivitas praktis, proses praktis dari kehidupan manusia. Frase-frase kosong tentang kesadaran kemudian berahir...”.  Filsafat yang berkisah tentang spekulasi mengenai kesadaran manusia harusnya mengakui keterbatasannya. Engels maupun Marx dalam hal ini menunjukkan bahwa lambat laun penggambaran mengenai manusia harus melalui penyelidikan yang ilmiah. Melalui ilmu pengetahuan, rahasia di balik aktivitas manusia dapat diungkap. Sedangkan filsafat yang berpegang pada analisa spekulatif tidak akan bertahan. Yang dimaksud oleh Engels maupun Marx adalah perihal filsafat yang ‘memadai diri’ sebagai penjelas realitas. Filsafat yang memadai dirinya sebagai alat untuk mengungkap realitas berarti filsafat yang secara semena-mena mengambil otoritas dan otonomi dalam bidang penyelidikan tertentu. Dengan demikian, berdasarkan otoritas dan otonomi tersebut, filsafat seakan tidak ingin diganggu oleh temuan ilmu pengetahuan.

            Berkaitan dengan berakhirnya otonomi filsafat, salah-satu tulisan dalam DBM oleh Suryajaya hendak membahas naturalisasi ontologis. Tulisan Suryajaya mengungkapkan suatu proses rekonstruksi naturalisme ontologis melalui penyusunan kembali relasi antara Tesis Naturalisme Ontologis , Teorema Fundamental Dialektika dan materialisme historis. Proyek penyusunan filsafat alam tersebut dilakukan melalui rekonstruksi naturalisme ontologis yaitu dengan merumuskan definisi tentang “Ada”, “Asas Penjelasan”, “Parafrase disposisional”, dan “Tiga Hukum Dialektika”. Proses rekonstruksi yang dilakukan oleh Suryajaya berkaitan dengan proses pembuktian Tesis Materialisme Historis. Materialisme historis berasal dari penerimaan Engels terhadap “Tiga Hukum Dialektika” Hegel dengan syarat rejeksi esensialisme dan fisikalime-Cartesian Hegel. Tiga hukum dialektika Hegel direvisi tentu dengan beberapa catatan, yang merupakan bagian dari pengaruh Origin karya Darwin bagi Engels dan Marx. Origin karya Darwin, membawa Engels pada kesimpulan bahwa Hegel telah berbohong dengan menyelipkan pembahasan alam serta sejarah. Meskipun yang dilakukan Hegel sebenarnya adalah penyeledikan mengenai sejarah hukum pemikiran. Menurut Engels, Hegel hanya membahas mengenai sejarah dan ide, dan bukan eksplanasi tentang derivasinya dari sejarah alam itu sendiri.

            Meskipun demikian, di Indonesia, rekonstruksi filsafat Marxisme atau dalam hal ini Engelsian adalah soal bagaimana memecahkan persoalan klasik yang muncul dari semesta fisik dan semesta mental. Persoalan klasik tersebut adalah seputar mana yang independen, mendeterminasi, atau pola relasional antara keduanya. Berkaitan dengan berakhirnya otonomi filsafat sebagai pembahasan umum, sebenarnya yang hendak dilakukan secara spesifik yaitu bagaimana menunjukkan persoalan ini dalam perdebatan antara fisikalisme dan dualisme. Berhubungan dengan hal tersebut, buku DBM memaparkan kembali beberapa persoalan penting soal memecahkan persengketaan filosofis antara fisikalisme dan dualisme. Suryajaya misalnya, menunjukkan pemecahan ini dengan memperlihatkan rekonstruksi filsafat alam Engelsian melalui model analitik terhadap tiga hukum dialektika. Sebenarnya, Suryajaya dalam salah satu artikelnya tentang Intensionalitas Fisik, membahas suatu cara pembuktian bahwa intensionalitas terdapat dalam semesta mental karena intensionalitas terdapat semesta fisik melalui rekonstruksi Tesis Umum Intensionalitas yang dibangun dari Martin Molnar. Sedangkan model pemecahannya dalam konteks ilmu sosial secara implisit muncul dari tulisan Iqra Anugrah dalam buku ini. Yang membahas tentang historiografi Engelsian dengan menyatakan bahwa Engels sepenuhnya dalam kajian Perang Tani di Jerman tidak mereduksi aspek-aspek ideasional sebagai bagian dari kajian semesta mental yang seringkali dianggap abstraksi belaka sebagai bentuk kritik terhadap kajian Perang Tani Zimmermann.

            Banyak kajian berkembang berkaitan dengan sejauh mana relevansi analisa Materialisme Historis pasca Perang Dingin. Komentator yang bergelut dalam ilmu-ilmu sosial beranggapan bahwa kejatuhan Soviet dan proyek politik tahun 1989 merupakan awal dari kejatuhan analisis Materialisme Marxis yang menyebabkan intelektual mulai tidak tertarik lagi untuk menggunakannya. Intelektual yang menganalisis proses-proses globalisasi dan privatisasi misalnya menganggap bahwa Materialisme Historis sebagai alat analisis, tidak cukup baik untuk mengkaji persoalan senjata nuklir, kontrol militer atau tentang bagaimana kekuatan finansial memainkan peranan besar pada masa sekarang. Tentu saja perkembangan mutakhir yang mewujud dalam masalah tersebut merupakan tantangan bagi penulisan-penulisan lanjut pasca buku DBM. Kejatuhan peristiwa politik komunisme tidak membuktikan dua hal: pertama, bahwa materialisme dialektika-historis tidak dapat dicapai sebagai keniscayaan yang ada. Sehingga dengan demikian, merupakan suatu yang utopis dan tak relevan dengan narasi-narasi emansipatif apapun. Kedua, karena relevansi materialisme dialektika-historis tidak dapat dicapai melalui manifestasi politik-ekonomi, maka materialisme dialektika-historis sepenuhnya utopis. Dua kritik tersebut pada aras yang pertama masih dapat diperdebatkan. Sedangkan untuk yang kedua, tidak dapat disangkal bahwa suatu penjelasan fundamental materialisme bahwa matter sebagai pembentuk esensi, atau bahwa dalam kasus pikiran sebagai yang diturunkan dari otak, masih terus dikaji dalam lapangan sains hingga hari ini.

            Khusus dalam kajian perilaku, otak dan evolusi, hingga hari ini menunjukkan bahwa satu dari dua bagian isi dialektika materialisme yakni: entitas immaterial diturunkan secara niscaya melalui segala yang material berada dalam kajian serius sains. Perdebatan dalam wilayah sains yang menyangkut manusia dan alam semesta terus terjadi. Pada satu sisi menunjukkan dasar asumsi dari pendapat Engels bahwa penjelasan yang dari temuan ilmu pengetahuan berarti hendak membangun orientasi-orientasi utopis. Salah satu sumbangan besar Engels terhadap marxisme dan filsafat pada umumnya adalah program naturalisasi filsafat yang berkaitan dengan bagaimana aras kesadaran dan semesta fisik berkelindan. Lebih dari itu, sumbangan naturalisasi filsafat memberikan kejelasan tentang posisi pemikiran ilmiah yang dilekatkan dengan sosialisme dan implikasinya terhadap perjuangan emansipatif. Melalui naturalisasi filsafat, perspektif Engels dapat digunakan untuk memberikan semacam panduan untuk menghindari terjebaknya perjuangan emansipatif ke dalam fiksi kesetaraan. Artinya, alih-alih membebaskan manusia, yang terjadi justru terjebaknya gerakan-gerakan tersebut ke dalam agenda-agenda kapitalisme. Dan tentu saja yang lebih memalukan lagi, munculnya sikap anti ilmu pengetahuan sebagai basis dari perjuangan emansipatif. 

            Dengan demikian, sumbangan penting Engels bagi ilmu pengetahuan dapat dilihat dengan dua cara. Pertama, berkaitan dengan peran Engels, misalnya dalam temuan-temuan filsafat alam tentang kosmogoni, fisika, kimia, dunia organik, dialektika dan sebagainya. Topik tersebut dapat kita baca dalam salah-satu karya penting Engels, Anti-Duhring. Ulasan-ulasan Engels tentang sejarah alam semesta dalam Anti-Duhring paling tidak memperlihatkan kapasitas intelektual yang tidak main-main. Pada beberapa sisi, mengingatkan kita pada kajian alam semesta Stephen Hawking dalam The Theory of Everything. Sumbangan pertama meniscayakan sumbangan kedua, yakni mengenai penjelasan-penjelasan mutakhir tentang ekonomi dan politik serta masyarakat, hingga manusia itu sendiri. Sumbangan-sumbangan Engels tersebut, beberapa telah disinggung dalam buku ini. Yang oleh karena itu, sumbangan kompleks Engels dalam satu sisi yang paling menarik adalah bagaimana ia akan membantu rekonstruksi Marxisme kontemporer di Indonesia. Karena melalui buku ini kita diajak untuk memikirkan kembali segala cara pandangan teoritikal tentang manusia, masyarakat, dan alam semesta.



        END      

Rabu, 08 Juni 2016

Rabu, 01 Juni 2016

Conditional Sentence


Conditional sentences

Conditional sentences are sometimes confusing for learners of English as a second language.
Watch out:
  1. Which type of conditional sentences is it?
  2. Where is the if-clause (e.g. at the beginning or at the end of the conditional sentence)?
There are three types of conditional sentences.
typecondition
Icondition possible to fulfill
IIcondition in theory possible to fulfill
IIIcondition not possible to fulfill (too late)

1. Form

typeif-clausemain clause
ISimple Presentwill-future or (Modal + infinitive)
IISimple Pastwould + infinitive *
IIIPast Perfectwould + have + past participle *

2. Examples (if-clause at the beginning)

typeif clausemain clause
IIf I study,will pass the exam.
IIIf I studied,would pass the exam.
IIIIf I had studied,would have passed the exam.

3. Examples (if-clause at the end)

typemain clauseif-clause
Iwill pass the examif I study.
IIwould pass the examif I studied.
IIIwould have passed the examif I had studied.

4. Examples (affirmative and negative sentences)

type Examples
  long formsshort/contracted forms
I+If I study, I will pass the exam.If I study, I'll pass the exam.
-If I study, I will not fail the exam.
If I do not study, I will fail the exam.
If I study, I won't fail the exam.
If I don't study, I'll fail the exam.
II+If I studied, I would pass the exam.If I studied, I'd pass the exam.
-If I studied, I would not fail the exam.
If I did not study, I would fail the exam.
If I studied, I wouldn't fail the exam.
If I didn't study, I'd fail the exam.
III+If I had studied, I would have passed the exam.If I'd studied, I'd have passed the exam.
-If I had studied, I would not have failed the exam.
If I had not studied, I would have failed the exam.
If I'd studied, I wouldn't have failed the exam.
If I hadn't studied, I'd have failed the exam.
* We can substitute could or might for would (shouldmay or must are sometimes possible, too).
  • would pass the exam.
  • could pass the exam.
  • might pass the exam.
  • may pass the exam.
  • should pass the exam.
  • must pass the exam.

Sumber:

Simple Present, Past, Future Tense


In English, there are three basic tenses: present, past, and future. Each has a perfect form, indicating completed action; each has a progressive form, indicating ongoing action; and each has a perfect progressive form, indicating ongoing action that will be completed at some definite time. Here is a list of examples of these tenses and their definitions:
Simple FormsProgressive FormsPerfect FormsPerfect Progressive Forms
Presenttake/sam/is/are takinghave/has takenhave/has been taking
Pasttookwas/were takinghad takenhad been taking
Futurewill/shall takewill be takingwill have takenwill have been taking

Simple Forms

Present Tense

Present tense expresses an unchanging, repeated, or reoccurring action or situation that exists only now. It can also represent a widespread truth.
Example
Meaning
The mountains are tall and white.Unchanging action
Every year, the school council elects new members.Recurring action
Pb is the chemical symbol for lead.Widespread truth

Past Tense

Past tense expresses an action or situation that was started and finished in the past. Most past tense verbs end in -ed. The irregular verbs have special past tense forms which must be memorized.
Example
Form
W.W.II ended in 1945.Regular -ed past
Ernest Hemmingway wrote "The Old Man and the Sea."Irregular form

Future Tense

Future tense expresses an action or situation that will occur in the future. This tense is formed by using will/shall with the simple form of the verb.
The speaker of the House will finish her term in May of 1998.
The future tense can also be expressed by using amis, or are with going to.
The surgeon is going to perform the first bypass in Minnesota.
We can also use the present tense form with an adverb or adverbial phrase to show future time.
The president speaks tomorrow. (Tomorrow is a future time adverb.)

Progressive Forms

Present Progressive Tense

Present progressive tense describes an ongoing action that is happening at the same time the statement is written. This tense is formed by using am/is/are with the verb form ending in -ing.
The sociologist is examining the effects that racial discrimination has on society.

Past Progressive Tense

Past progressive tense describes a past action which was happening when another action occurred. This tense is formed by using was/were with the verb form ending in -ing.
The explorer was explaining the lastest discovery in Egypt when protests began on the streets.

Future Progressive Tense

Future progressive tense describes an ongoing or continuous action that will take place in the future. This tense is formed by using will be or shall be with the verb form ending in -ing.
Dr. Jones will be presenting ongoing research on sexist language next week.

Perfect Forms

Present Perfect Tense

Present perfect tense describes an action that happened at an indefinite time in the past or that began in the past and continues in the present.This tense is formed by using has/have with the past participle of the verb. Most past participles end in -ed. Irregular verbs have special past participles that must be memorized.
Example
Meaning
The researchers have traveled to many countries in order to collect more significant data.At an indefinite time
Women have voted in presidential elections since 1921.Continues in the present

Past Perfect Tense

Past perfect tense describes an action that took place in the past before another past action. This tense is formed by using had with the past participle of the verb.
By the time the troops arrived, the war had ended.

Future Perfect Tense

Future perfect tense describes an action that will occur in the future before some other action. This tense is formed by using will have with the past participle of the verb.
By the time the troops arrive, the combat group will have spent several weeks waiting.

Perfect Progressive Forms

Present Perfect Progressive

Present perfect progressive tense describes an action that began in the past, continues in the present, and may continue into the future. This tense is formed by using has/have been and the present participle of the verb (the verb form ending in -ing).
The CEO has been considering a transfer to the state of Texas where profits would be larger.

Past Perfect Progressive

Past perfect progressive tense describes a past, ongoing action that was completed before some other past action. This tense is formed by using had been and the present perfect of the verb (the verb form ending in -ing).
Before the budget cuts, the students had been participating in many extracurricular activities.

Future Perfect Progressive

Future perfect progressive tense describes a future, ongoing action that will occur before some specified future time. This tense is formed by using will have been and the present participle of the verb (the verb form ending in -ing).
By the year 2020, linguists will have been studying and defining the Indo-European language family for more than 200 years.


Sumber:

Active and Passive Sentence


Active / Passive Verb Forms

Sentences can be active or passive. Therefore, tenses also have "active forms" and "passive forms." You must learn to recognize the difference to successfully speak English.

Active Form

In active sentences, the thing doing the action is the subject of the sentence and the thing receiving the action is the object. Most sentences are active.
[Thing doing action] + [verb] + [thing receiving action]

Passive Form
In passive sentences, the thing receiving the action is the subject of the sentence and the thing doing the action is optionally included near the end of the sentence. You can use the passive form if you think that the thing receiving the action is more important or should be emphasized. You can also use the passive form if you do not know who is doing the action or if you do not want to mention who is doing the action.
[Thing receiving action] + [be] + [past participle of verb] + [by] + [thing doing action]


Active and Passive Sentences
A sentence is written in active voice when the subject of the sentence performs the action in the sentence.
e.g. The girl was washing the dog.
A sentence is written in passive voice when the subject of the sentence has an action done to it by someone or something else.
e.g. The dog was being washed by the girl.
Task OneCopy out each of these sentences and then write whether it is in active or passive voice. (Hint: In these sentences look for the person who is carrying out the action).
  1. Mark was eating an apple.
  2. The picture was painted by Bob.
  3. Tina opened the present.
  4. The phone was being used by Mr Thomas.
  5. The card was made by Fred.
  6. James hit the tree with his stick.
  7. The man jumped off the step.
  8. Daniel was watching the birds.
Task TwoCopy out each of these sentences and then write whether it is in active or passive voice.
  1. The key was used to open the door.
  2. The crisp packet was thrown away.
  3. James couldn’t see the man.
  4. The boy picked up the coin.
  5. The egg was laid by the bird.
  6. Susan found her car keys.
  7. The policeman chased after Fred. ***Think carefully about this one***
  8. The car was fixed. ***Think carefully about this one***
  9. The pencil had been lost. ***Think carefully about this one***
  10. Mark was given a warning. ***Think carefully about this one***
Task Three
These are all written in passive voice. Change each sentence into active voice.
  1. The football was kicked by Luke.
  2. The knife was left on the table by Julie.
  3. The milk had been knocked over by a cat.
  4. The car had been driven into a wall by a naughty child.
  5. The windows had been washed. ***Think carefully about this one***
Task Four
These are all written in active voice. Change each sentence into passive voice.
  1. The actors had performed the play by Shakespeare.
  2. A stone smashed the window.
  3. The boys pushed the tree over.
  4. James climbed the ladder.
  5. Sam baked a big cake.
  6. Fred told Johnny a lie. ***Think carefully about this one***
ExtensionFind examples of sentences written in passive voice in your reading book and the books in the class library. Can you change each of the sentences into active voice?


Sumber:

Active / Passive Overview